Hukum Kaos Warna Merah dalam Islam; Merah mrupakan sebuah warna yang punya banyak arti, mulai dari cinta yang menggairahkan hingga kekerasan perang. Warna ini tak cuma memengaruhi psikologi tapi juga fisik. Penelitian menunjukkan menatap warna merah bisa meningkatkan detak jantung dan membuat kita bernapas lebih cepat. Dapat membangkitkan energi, hangat, komunikatif, optimis, antusias, dan bersemangat. Memberi kesan sensual dan mewah, meningkatkan aliran darah dalam tubuh, dan berkaitan dengan ambisi. Terlalu banyak warna merah bisa merangsang kemarahan dan agresivitas. Gradasi yang lebih muda yaitu warna merah jambu (pink) merupakan warna yang hangat dan emosionalnamun juga lebut dan menenangkan. Melambangkan kasih sayang dan perasaan cinta namun juga bisa bearti kekanak-kanakan.
Warna Merah Muda (Pink)
Arti : Cinta, kasih sayang, kelembutan, feminin
Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengenakan pakaian warna merah bagi laki-laki. Karena terdapat beberapa hadis yang membolehkan dan hadis yang melarang. Berikut rinciannya,
Beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan pakaian warna merah,
Pertama, dari Hilal bin Amir dari ayahnya (Amir Al-Muzanni), beliau mengatakan,
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم بمنى يخطب على بغلة , وعليه بُرْدٌ أحمر , وعَليٌّ أمامه يُعَبِّرُ
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di Mina di atas Bighalnya, beliau memakai selendang warna merah. Sementara Ali berada di depan beliau, mengeraskan apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud 3551 dan dishahihkan Al-Albani)
Kedua, dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم مَرْبُوعاً , وقد رأيته في حُلةٍ حمراء , لم أر شيئا قط أحسن منه صلى الله عليه وسلم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tingginya sedang. Saya melihat beliau mengenakan pakaian warna merah, belum pernah sekalipun saya melihat orang yang lebih tampan dari pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 5400 dan Muslim 4308).
Ketiga, dalam riwayat lain, juga dari Al-Barra’ bin Azib, beliau menceritakan,
مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Saya belum pernah melihat ada orang yang rambutnya menjuntai ke telinga, dengan memakai pakaian merah yang lebih tampan dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Turmudzi 1646 dan beliau menilai hadis hasan shahih).
Keempat, dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
رَأَيْتُ بِلاَلًا أَخَذَ عَنَزَةً، فَرَكَزَهَا وَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مُشَمِّرًا صَلَّى إِلَى العَنَزَةِ بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ
Beliau melihat Bilal membawa tongkat kecil, lalu dia tancapkan di depan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kemahnya dengan memakai pakaian warna merah. Beliau angkat sarung beliau hingga ke pertengahan betis, beliau shalat dua rakaat menghadap tongkat tersebut mengimami para sahabat. (HR. Bukhari 376, Muslim 503, dan Abu Daud 520).
Kelima, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan,
أنه عليه الصلاة والسلام كان يلبس يوم العيد بُردةً حمراء
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat id, beliau memakai burdah warna merah.”
Sementara dalil yang melarang menggunakan pakaian warna merah diantaranya,
Pertama, hadis dari Al-Barra bin Azib,
نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ المَيَاثِرِ الحُمْرِ وَالقَسِّيِّ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk menggunakan Al-Mayatsir warna merah, dan pakaian Al-Qassi. (HR. Bukhari 5838)
Al-Mayatsir: jamak dari kata mitsarah, semacam karpet kecil terbuat dari sutera dengan campuran katun, yang digunakan oleh penunggang onta untuk duduk. (Keterangan Dr. Musthafa Bagha, ta’liq Shahih Bukhari 7/24).
Al-Mayatsir, berdasarkan keterangan di atas, bukan pakaian tapi karpet untuk duduk.
Al-Qassi: baju yang benangnya campuran antara katun dan sutera, dinisbahkan kepada daerah pembuatnya Al-Qassi yang berada di Mesir.
Kedua, dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma,
مَرَّ على النبي صلى الله عليه وسلم رجلٌ عليه ثوبان أحمران , فسلَّم عليه , فلم يَرُدَّ عليه النبي صلى الله عليه وسلم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang yang memakai baju warna merah. Orang itupun memberikan salam kepadanya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya. (HR. Turmudzi 2731, Abu Daud 3574, dan hadis ini dinilai dhaif oleh Al-Albani dan ulama lainnya, karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Yahya Al-Qattat yang dinilai dhaif oleh Imam Ahmad, Ibnu Main dan yang lainnya).
Ketiga, dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu,
إياكم والحمرة فإنها أحب الزينة إلى الشيطان
“Jauhilah warna pakaian merah, karena pakaian warna merah adalah perhiasan yang paling disukai setan.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (18/148), dalam sanadnya ada perawi yang bernama Said bin Bisyr, dia didhaifkan oleh Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibn Main, An-Nasai dan lainnya. Sehingga status hadis ini dhaif).
Keempat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
نُهِيتُ عن الثوب الأحمر ، وخاتم الذهب ، وأن أقرأ وأنا راكع
“Saya dilarang untuk memakai pakaian warna merah, cincin emas, dan membaca Al-Quran ketika rukuk.” (HR. Nasai 5166 dan Al-Albani mengatakan: sanadnya shahih).
Ikhtilaf Ulama Hukum Mengenakan Kaos Warna Merah
Berdasarkan pemaparan di atas, ulama berbeda pendapat tentang hukum mengenakan pakaian warna merah bagi laki-laki dan batasan pakaian merah yang terlarang. Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan 8 pendapat ulama dalam kitabnya Fathul Bari (10/306). Berikut keterangan beliau,
1. Boleh memakai pakaian merah secara mutlak.
Merah polos maupun merah yang bercampur dengan warna lain. Pendapat ini diriwayatkan dari sekelompok sahabat, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Abdullah bin Ja’far, Al-Barra’ bin Azib, dan beberapa sahabat lainnya. Pendapat ini juga yang dipegangi oleh beberpa tabi’in, diantaranya, Said bin Musayib, An-Nakhai, As-Sya’bi, Abu Qilabah, Abu Wail, dan beberapa tabiin lainnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Al-Bukhari, sebagaimana yang beliau isyaratkan dalam judul bab di kitab shahihnya. Dan ini merupakan pendapat dalam madzhab Malikiyah, Syafiiyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Hambali.
2. Dilarang secara mutlak, meskipun ada campuran warna lain.
Namun Al-Hafidz tidak menyebutkan ulama yang mengambil pendapat ini.
3. Makruh memakai pakaian yang penuh warna merah.
Namun jika diberi wanteks warna merah sebagian, dibolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Atha, Thawus, dan Mujahid.
4. Makruh memakai pakaian warna merah secara mutlak jika tujuannya untuk berhias atau mencari ketenaran.
Namun boleh digunakan di rumah atau di tempat kerja. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Abbas dan merupakan pendapat Imam Malik.
5. Boleh memakai pakaian warna merah, selama warna merahnya berasal dari benangnya.
Namun jika kainnya dicelup wanteks merah, tidak boleh digunakan. Ini pendapat Al-Khithabi. Beliau beralasan bahwa pakaian merah yang dikenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah di Mina dan ketika shalat id adalah impor dari Yaman. Dan ciri khas kain merah dari Yaman, benangnya diberi warna merah, kemudian ditenun jadi kain. Bukan kain yang dicelum wanteks merah.
6. Larangan ini khusus untuk kain yang mu’ashfar (wanteks kuning matang).
Karena ada riwayat lain yang melarang hal ini. Namun jika warna yang lain, boleh.
7. Larangan ini khusus untuk pakaian yang semuanya diwanteks merah.
Namun jika ada campuran warna lain selain merah, seperti hitam atau putih, tidak terlarang. Inilah yang dipahami dari hadis pakaian merah Yaman yang dikenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kain merah Yaman, umumnya memiliki garis merah atau warna lainnya. Ini adalah pendapat Ibnul Qoyim.
8. Boleh memakai pakaian yang diwanteks dengan semua warna, selama itu bukan pakaian syuhrah (yang mengundang perhatian).
Batasannya: mukhalafah ziy ahlil muruah, tidak sama dengan umumnya yang dikenakan orang baik di tempat itu. Ini adalah pendapat Ibnu Jarir At-Thabari.
Tarjih
Dari sekian pendapat mengenai hukum memakai pakaian warna merah, pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat yang membolehkan pakaian warna merah, dengan beberapa alasan,
Pertama, hadis yang menyebutkan tentang larangan memakai warna merah, tidak lepas dari cacat dan kelemahan, sehingga tidak bisa dijadikan acuan.
Kedua, peristiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian warna merah, sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Barra bin Azib, Amir Al-Muzanni dan Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhum, terjadi ketika haji wada’. Artinya itu terjadi di akhir perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, hadis Ibnu Abbas yang dinilai shahih sandanya oleh Al-Albani, dimaknai sebagaimana pendapat beliau, bahwa larangan ini berlaku jika menimbulkan syuhrah(mengundang perhatian). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian merah ketika hari raya, yang menunjukkan bahwa itu beliau lakukan sebagai bentuk berhias.
Keempat, pendapat yang mengatakan ‘jika ada campuran warna lain selain merah, seperti hitam atau putih, tidak terlarang’ ini pendapat yang kurang tepat.
Dr. Muhammad Ali Farkus mengatakan,
أما ما قرره ابن القيم – جمعا بين الأحاديث من أن الحلة الحمراء بردان يمانيان منسوجان بخطوط حمر وسُود، فإنّ هذا الجمع يفتقر إلى دليل لما علم أن الصحابي وهو من أهل اللغة واللسان قد وصفها بأنها حمراء فينبغي حملها على الأحمر البحت لأنه هو المعنى الحقيقي لها
Apa yang ditegaskan Ibnul Qoyim – dalam rangka mengkompromikan hadis – bahwa pakaian merah dari Yaman, ditenun campuran antara merah dengan hitam. Kompromi semacam ini butuh dalil. Karena kaidah yang diketahui, bahwa para sahabat – dan mereka memahami bahasa arab yang benar – menceritakan bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu warnanya merah. Selayaknya kita maknai merah polos. Karena itulah makna hakiki untuk kalimat tersebut.
Beliau melanjutkan,
وحمل مقالة ذلك الصحابي على لغة قومه آكد ولا يصار إلى المعنى غير الحقيقي إلا بدليل صارف على ما هو مقرر في موضعه
“Memahami keterangan sahabat sesuai bahasa masyarakatnya, lebih ditekankan. Dan tidak boleh dialihkan ke makna yang tidak hakiki, kecuali dengan dalil yang mendukunya, sebagaimana yang dijelaskan dalam referensi masalah ini.”
Alasan beliau ini merupakan penjelasan As-Syaukani dalam Nailul Authar (2/114 – 115).
Kelima, memakai pakaian warna merah termasuk bentuk berhias yang dihalalkan
Ketika menjelaskan hadis Abu Juhaifah di atas, Imam Ibnu Batthal menukil keterangan Al-Muhallab,
‘Hadis ini dalil bolehnya memakai pakaian warna merah, dan bantahan untuk orang yang memakruhkan warna merah. Hadis ini juga menunjukkan bolehnya memakai pakaian yang berwarna, bagi pemimpin maupun orang zuhud dunia. Karena merah adalah warna yang paling menonjol dan perhiasan paling indah di dunia. Tentang firman Allah,
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ
“Qarun keluar dengan mengenakan perhiasannya..” (QS. Al-Qashas: 79),
Ada yang mengatakan, Qarun keluar dengan memakai pakaian warna merah. Sementara ditegaskan dalam firman yang lain,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan yang Allah berikan kepada hambanya, dan rizki yang halal..” (QS. Al-A’raf: 32).
Kata ‘perhiasan’ mencakup semua perhiasan yang mubah (termasuk pakaian warna merah). [Syarh Shahih Bukhari Ibnu Batthal, 2/39].
Terimakasih telah membaca artikel kami semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.